RSS

Friday, May 10, 2013

Mitos dan Fakta Seputar Homeschooling


Ada beberapa mitos dan juga fakta yang perlu menjadi catatanku dalam menjalankan homeschooling. 
Semua tulisan ini merupakan copy paste dari 2 link yang sudah kusebutkan sumbernya. 

Gambar diambil dari sini

Tulisan ini diambil dari  sini http://www.bincangedukasi.com/mitos-mitos-seputar-homeschooling.html

>> Siswa homeschooling tidak bersosialisasi.
Hmm, seandainya saya diberi Rp 10.000,- setiap kali ada yang bertanya soal yang satu ini, mungkin saya sudah menjadi jutawan sekarang. Sosialisasi dalam homeschooling adalah keberatan yang paling sering diajukan dan selalu ditanyakan pertama kali, padahal ini yang paling mudah dibantah. Mitos ini muncul dari ketidaktahuan tentang kegiatan homeschooling sebenarnya. Banyak orang berasumsi bahwa dalam homeschooling anak tidak keluar dari rumah dan hanya belajar sendiri atau berdua orang tuanya mulai dari pagi sampai sore. Kalau seperti itu ya pasti si anak jadi kuper. Pada kenyataannya, siswa homeschooling lebih sering mengadakan studi lapangan kapan pun mereka mau. Saat waktunya belajar sejarah, mereka pergi ke museum dan berinteraksi dengan komunitas pecinta sejarah. Ingin belajar bisnis? Sambil makan di McDonald’s dan berbincang dengan manajernya dan para karyawannya saja.  Kalau olahraga atau musik? Ikut klub donk… atau urunan menyewa guru privat bersama para homeschooler lain. Siswa sekolah formal berinteraksi hanya dengan teman-teman yang seusia dan dikumpulkan dalam satu kelas seharian. Kalau siswa homeschooling? Dengan banyak orang dari segala lapisan usia dan pekerjaan! Banyak riset yang membuktikan bahwa siswa homeschooling dapat bersosialisasi sebaik, atau bahkan lebih baik, dari para sebayanya di sekolah formal, dan mereka menunjukkan lebih sedikit masalah perilaku pula.

>> Siswa homeschooling tidak punya teman.
Mirip dengan mitos pertama, mitos yang satu ini berasumsi bahwa rekan sebaya siswa homeschooling yang bersekolah formal memiliki banyak teman sedangkan mereka tidak. Ok, coba kita jujur dulu dalam melihat fakta. Yang bisa didapat seorang anak dari “pertemanan” di lingkungan sekolah formal sebenarnya lebih banyak berupa “peer pressure”. Anak-anak ini saling memberi tekanan agar mereka bisa menjadi sama antara satu dengan yang lain. Silahkan baca blog post yang berjudul “Akhir Masa Kanak-kanak” untuk penjelasan mengenai pemanfaatan peer pressure dalam sistem pendidian untuk membentuk manusia-manusia seragam yang mudah dikendalikan. Seseorang bertanya pada orang tua homeschooler, “Anak-anakmu tidak punya teman dan tidak bisa belajar dari anak-anak sebayanya.” Orang tua homeschooler ini pun menjawab, “Coba kamu pergi ke sekolah formal saat siswanya beristirahat, perhatikan mereka, dan tunjukkan padaku, sifat-sifat mana dari mereka yang pantas ditiru anakku.” Benar juga. Lalu orang tua ini ditanya lagi, “Tapi anakmu tidak akan belajar berkompetisi seperti kalau di sekolah formal.” Ia pun menjawab lagi, “Anakku tidak berkompetisi dengan orang lain, namun ia berkompetisi dengan target performa yang ditetapkannya sendiri. Kalau dengan orang lain, ia berkolaborasi.” Lagi-lagi jawaban tepat. Sungguh tidak rugi siswa homeschooling kehilangan “pertemanan” dalam lingkungan sekolah formal bila pada kenyataannya ia bisa berteman dengan teman-teman dari klub olahraga, remaja masjid, paduan suara gereja, kelas musik. Ia pun bisa berteman dengan orang-orang dari segala lapisan usia dan pekerjaan seperti staff museum, manajer restoran, dan lainnya.

>> Homeschooling sangat mahal.
Jelas masalah uang adalah pertanyaan berikutnya yang muncul setelah pertanyaan pertama bisa dijawab dengan mudah. Sebenarnya mungkin ini adalah pertanyaan terpenting bagi banyak orang, hanya gengsi saja kalau ditanyakan pertama. J Faktanya, homeschooling bisa mahal dan bisa murah. Banyak artis dan anak dari kalangan orang tua berada yang bisa menyewa guru-guru privat dan alat-alat pembelajaran yang mahal buat belajar di rumah (walaupun ini sebenarnya cuma memindah sekolah ke rumah, bukan homeschooling murni). Namun ada juga para orang tua yang membentuk komunitas homeschooling bagi anak-anaknya dan berbagi biaya. Malah di daerah Pasar Minggu ada komunitas homeschooling buat anak orang miskin. Masalah biaya sangat tergantung dari bujet dan kreativitas orang tua serta komunitas. Yang jelas, value for money dari homeschooling seharusnya lebih tinggi daripada mengeluarkan biaya untuk sekolah formal.

>>  Siswa homeschooling pemalu dan tidak pernah keluar rumah.
Ok, ini sebenarnya sudah terjawab di mitos pertama. Saya akan jelaskan lebih jauh. Soal pemalu, jelas tergantung dari si anak. Di sekolah formal pun ada anak pemalu. Sedangkan masalah tidak pernah keluar rumah, pada dasarnya ini salah. Bagi siswa homeschooling seluruh dunia ini adalah ruang kelas. Proses belajar bisa dilakukan di mana pun dan kepada siapa pun. Tidak seperti rekan-rekannya di sekolah formal yang “didatangi” oleh guru, siswa homeschooling terbiasa “keluar dan mencari jawaban”. Mereka akan pergi ke museum, kebun binatang, restoran, tetangga, bahkan ke mall dengan tujuan untuk belajar. Mereka akan berinteraksi dengan banyak kalangan dari berbagai usia dan pekerjaan, dan mereka akan banyak bertanya dan tidak menunggu diterangkan. Saya pernah mendengar tentang anak homeschooling yang masuk universitas negeri dan terheran-heran dengan sikap teman-temannya yang sangat jarang mengajukan pertanyaan di kelas sedangkan ia sendiri sudah biasa bertanya. Tunggu dulu, apa saya tidak salah tulis nih? Apa benar ada anak homeschooling masuk universitas negeri? Silahkan lanjutkan ke mitos berikutnya.

>> Siswa homeschooling tidak bisa masuk perguruan tinggi.
Mitos yang dulu bisa jadi benar. Salah satu yang membuat homeschooling kurang berkembang di Indonesia adalah dukungan pemerintah. Tapi itu dahulu, saat ini pemerintah sudah mulai gencar mendorong perkembangan pendidikan alternatif. (Sekaligus sebagai penegasan bahwa saya bukan oposisi buta yang asal menganggap semua yang dilakukan pemerintah itu buruk.) Masuk perguruan tinggi bisa dilakukan oleh siswa homeschooling yang telah mengikuti ujian persamaan Paket C. Sudah banyak siswa homeschooling yang masuk ke perguruan tinggi. Di Inggris, rata-rata siswa komunitas homeschooling yang melanjutkan ke perguruan tinggi tiga kali lebih besar daripada siswa sekolah formal. Bukan hanya masuk perguruan tinggi, siswa homeschooling bahkan bisa masuk ke sekolah dasar maupun sekolah menengah formal di tingkat mana pun mereka mau. Model ini dinamakan multiple entries and multiple exits. Tentu ada prosedur-prosedur yang harus dilewati. Siswa homeschooling juga bisa bekerja sama dengan sekolah formal untuk menjadi “siswa paruh waktu” di sekolah tersebut. Misalnya, pada hari Senin sampai Rabu ia homeschooling, dan pada hari Kamis dan Jumat ia ikut bersekolah di sekolah formal dekat rumahnya. Ya, ini semua sudah dimungkinkan di Indonesia. Tinggal kembali kepada orang tua untuk melihat semua opsi yang ada dan memilih yang terbaik untuk anaknya.

>> Orang tua homeschooler harus memiliki sertifikat pengajar.
Banyak orang tua yang takut memilih homeschooling bagi anaknya karena merasa tidak bisa menjadi pengajar yang baik, walaupun sebenarnya mereka telah mengajari anaknya banyak hal setiap harinya saat membesarkan mereka. Namun memang tidak perlu kita menjadi pengajar yang ahli untuk membantu pendidikan anak. Banyak opsi yang bisa dipilih oleh orang tua yang merasa tidak bisa mengajar, seperti memilih kurikulum yang sudah disesuaikan dengan gaya belajar anak dan gaya mengajar dan preferensi keterlibatan orang tua. Anak-anak homeschooler juga bisa dikumpulkan dalam suatu komunitas untuk disewakan guru privat bersama untuk subjek tertentu. Seringkali orang tua malah cukup menjadi pendamping bagi anaknya, sedangkan anaknya bisa mengajari dirinya sendiri dengan berbagai sumber pembelajaran yang bertebaran di internet, perpustakaan, telekursus, dan lainnya. Orang tua juga bisa mencari manual bagi orang tua homeschooler dalam mendidik anak-anaknya.

>> Siswa homeschooling tidak mendapat kegiatan ekstrakurikuler yang cukup.
Salah besar! Homeschooling adalah metode pendidikan yang sangat efisien. Proses pembelajaran yang dilakukan selama beberapa jam pada homeschooling bisa lebih produktif daripada waktu yang sama di sekolah formal. Artinya, siswa homeschooling akan memiliki lebih banyak waktu untuk menyalurkan hobi, mengembangkan bakatnya dan melakukan hal-hal lain yang mereka suka. Mereka bisa mengikuti kegiatan musik dan olahraga dengan mengikuti klub di mana mereka akan bermain dengan kelompok yang lebih kecil. Di sekolah, dengan kelompok yang besar, tiap siswa hanya akan mendapat sedikit latihan olahraga dan musik. Sebagian besar waktunya akan digunakan untuk menunggu giliran.

>> Tidak ada laboratorium pengetahuan alam di rumah siswa homeschooling.
Tapi beberapa komunitas homeschooling punya. Orang tua juga bisa menyewa peralatan percobaan ilmiah. Yang lebih baik lagi adalah bila orang tua menggunakan kreativitas dalam membantu anak melakukan percobaan ilmiah. Kebanyakan percobaan ilmiah bisa dilakukan dengan peralatan dan bahan-bahan sederhana yang bisa didapat di rumah atau di pasar/supermarket.

>> Saya hanya bisa mendampingi satu anak belajar dalam satu waktu.
Mulai pelan-pelan saja. Seiring berjalannya waktu kita akan semakin terbiasa mendampingi anak yang lebih tua memulai proses belajarnya terlebih dahulu, baru kemudian mendampingi yang lebih muda saat yang lebih tua melanjutkan sendiri. Bisa juga kakak diminta mendampingi adiknya, atau salah satu anak melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan lainnya saat Ibu mendampingi anaknya yang lain belajar. Oh ya, Bapak juga harus aktif membantu. Bisa juga minta bantuan nenek, tante, dan lainnya. Orang tua harus menentukan dan mengawasi proses homeschooling, tapi pelaksanaannya bisa berbagi. Homeschooling itu memang kerja tim dan butuh waktu untuk membentuk tim yang solid dan saling mengerti.

>> Kedua orang tua harus bekerja.
Yakin? Harus atau mau? Coba cek dulu, untuk uang dari second income itu dipakai? Untuk jasa baby sitter untuk anak? Untuk baju kerja? Untuk makan ke luar karena tidak ada yang sempat menyiapkan makanan di rumah? Bukankah ini pengeluaran yang bisa dihilangkan saat salah satu tidak bekerja? Ada juga kasus di mana single parent bisa sukses melakukan homeschooling dengan cara mengatur jadwal kerja secara kreatif atau malah bekerja dari rumah (apalagi di era dengan kemajuan teknologi seperti sekarang). Bisa juga orang tua minta bantuan saudara seperti nenek atau tante. Asal kurikulum dan pengawasan tetap ada di orang tua. Coba dipikir kembali.

>> Saya tidak bisa berlama-lama dekat dengan anak saya.
Dulu kok mau ya bikinnya? He he. Tapi sejujurnya, ini adalah masalah serius. Kalau kita tidak bisa dekat dengan anak kita sendiri, pasti ada yang salah dan harus diselesaikan. Cari konseling kalau diperlukan.

>> Homeschooling ok sih, tapi saya kan tiap hari juga ingin jalan ke mall sama teman-teman arisan.
Sumpah, pertanyaan ini pernah saya dapat dari seorang ibu-ibu di Jakarta. Tidak saya jawab karena langsung hilang mood waktu dapat pertanyaan ini. Ha ha.

Mitos-mitos homeschooling terbentuk karena sudah begitu dalamnya kita dicuci otak bahwa satu-satunya pendidikan bermutu yang menjamin kesuksesan anak adalah sekolah formal, serta kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan komunitas homeschooling itu sendiri. Seiring bermunculannya sekolah-sekolah alternatif, masyarakat mulai terbuka dan bertanya-tanya tentang pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Pendidikan formal tidak lagi dianggap dewa (salah mereka sendiri juga sih), namun masih banyak yang harus diperjuangkan bagi pendidikan alternatif yang juga tidak sempurna. Intinya, dengan semakin banyak pilihan metode pendidikan, pilih yang terbaik bagi anak-anak kita.***

Ada juga sumber tulisan lain yang membahas hal yang hampir sama, yaitu di : http://homeeducationspirit.blogspot.com/2006_08_01_archive.html

1. Homeschooler kurang bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia
Bersosialisasi berarti berinteraksi dengan individu individu lain tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Homeschooler berinteraksi dengan siapa saja, baik teman sebaya, mereka yang lebih tua maupun yang jauh lebih muda sekalipun. Mereka diajar untuk bisa menempatkan diri di lingkungan manapun dengan siapapun dan menjalin hubungan/interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna. Apakah sekolah menjamin keberhasilan sosialisasi anak? Jarang sekali ada sekolah yang bisa menyediakan tempat dimana jiwa anak anak bisa tumbuh dengan sehat (sebagai dasar sosialisasi yang baik). Konflik yang tidak diselesaikan dengan baik, kesedihan yang tidak didengarkan, kelebihan dan kekurangan yang tidak diperhatikan. Dan kalau boleh jujur, berapa lama anak anak bisa berinteraksi dengan teman sebayanya karena begitu masuk kelas itu berarti ‘shut up’. We can hardly communicate when we ‘shut up’. Belum lagi sekolah sekolah yang mengeksklusifkan diri sehingga kalangan tertentu saja yang bisa masuk, misalnya yang mampu saja, yang miskin saja atau yang beragama tertentu saja, Inikah sosialisasi? Homeschooler tidak realistis terhadap dunia? Di dunia nyata, kita hidup berinteraksi dengan berbagai macam orang dari berbagai macam usia dan latar belakang. Apakah mungkin kita bersikap ‘aku hanya mau berinteraksi dengan orang orang yang seusia dengan aku dengan latar belakang yang sama’. Who’s being unrealistic? Memang stress atau konflik yang sering terjadi di sekolah tidak selamanya jelek, hal hal negative kadang justru bisa menjadi pelatihan diri yang baik. Tapi melihat mejamurnya sekolah sekolah sebagi profit center sekarang, apakah kita perlu membayar puluhan bahkan ratusan juta supaya anak kita mendapatkan konflik dan stress yang sebenarnya bisa kita dapatkan secara gratis dimana saja. Untuk sosialisasi?
2. Orang tua tidak bisa menjadi guru
Orang tua dianggap tidak bisa menjadi guru, itu karena selama ini kita berpandangan keliru mengenai guru. Bahwa guru itu tahu segalanya dan tidak pernah salah, berdiri di depan murid (anak) dan berceloteh. Murid dianggap pasif sebagai penerima informasi. Dalam homeschool, tugas orangtua yang terutama adalah menanamkan sikap mental learning. You don’t teach the kids calculus or the law of gravity, you teach them how to teach themselves. Guru adalah siapa saja yang memberikan ilmunya. Sewaktu anak bertanya-tanya bagaimana adonan semen untuk bangunan dibuat dan dia mendapatkan jawabannya dari seorang tukang bangunan, maka tukang tersebut adalah guru. Ketika dia berinteraksi dengan peneliti musik etnik di pedalaman afrika dan dia memperoleh suatu pengetahuan baru, maka peneliti itu adalah guru. Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, ahli apa yang tidak bisa kita temui di internet, dari ahli pembuat permen sampai astrobiology bisa kita jangkau dalam hitungan detik. Mereka semua adalah guru guru yang sangat ahli di bidang masing-masing, yang bisa diajak bertukar pikiran dan berdebat sekalipun.
3. Orang tua harus tahu segalanya
Orangtua tidak harus tahu segalanya untuk bisa melakukan homeschool. Belajar dari keberhasilan para orang tua yang sejak beberapa dekade lalu telah melakukan homeschool, bahkan pasangan petanipun bisa menghasilkan anak anak yang diterima di universitas universitas papan atas di fakultas kedokteran, hukum, dll. Apakah orangtua orangtua ini duduk sepanjang hari di depan anak-anaknya dan mengajari mereka ini dan itu? Tidak! Mereka bekerja di ladang, memerah susu dan mengurusi ternak yang lain. Bagaimana itu bisa terjadi? Contoh orang tua di atas tidak tahu segalanya tetapi mereka tahu bagaimana menanamkan nilai dan sikap mental.
4. Orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari untuk homeschool seperti di sekolah.
Anggapan yang sangat keliru, pertama karena homeschooler dibiasakan untuk mandiri sehingga dominasi orangtua dan pengkebirian otoritas anak dalam pembelajaran sangat tidak diharapkan. Kedua, kalaupun pada saat tertentu atau pada tahapan usia tertentu keterlibatan orangtua sangat didiperlukan, waktunya tidak selama di sekolah. Kenapa? Kebanyakan sekolah tidak efisien, topic yang seharusnya bisa dikuasai dalam beberapa menit harus dipelajari selama berjam jam, bukan karena “in depth learning” tetapi karena terlalu banyak noise, misalnya guru marah, murid ribut, dan gangguan-gangguan lain. Project yang sangat berguna bagi murid kadang tidak bisa terlaksana karena sekolah terlalu birokratis dan kaku. It’s simply a waste of time.
5. Homeschooling tidak cukup belajar karena tidak meluangkan waktu sebanyak waktu belajar di sekolah.
Homeschooler bisa saja meluangkan cuma beberapa menit misalnya untuk mengerjakan beberapa lembar kerja matematika tetapi bisa terlibat asyik dalam penelitian spesies kupu-kupu selama berbulan bulan. Jumlah waktu tidak menjadi tolok ukur pembelajaran apalagi kalau jumlah waktu itu ditetapkan sebagai bentuk pemaksaan.
6. Homeschooler tidak disiplin dan seenaknya sendiri karena terbiasa bebas.
Semangat dari homeschooling adalah melibatkan anak dalam proses pembelajaran mereka dan menghormati talenta dan pilihan mereka dengan catatan, mereka tahu bahwa ada suatu tanggung jawab besar terhadap setiap keputusan mereka. Mereka juga diharapkan menyadari bahwa ada persyaratan tertentu yang harus mereka penuhi untuk mencapai suatu tujuan. Tentu saja homeschooler bebas untuk menentukan apa yang dia ingin pelajari, seberapa dalam dan kapan dan bagaimana dia ingin belajar tetapi bukan berarti homeschooler bebas dalam arti negatif dan destruktif.
7. Homeschooler tidak bisa mendapatkan ijasah
Di negara dengan populasi homeschooler terbesar, Amerika Serikat, mitos ini tentunya sangat mendekati kenyataan di era 70an. Sekarang ijasah bukan menjadi masalah lagi karena banyaknya inovasi di bidang pendidikan. Homeschooler yang tinggal di dalam hutan Kalimantan atau gurun Gobi sekalipun dapat memperoleh diploma berakreditas internasional. Di Indonesia, karena belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang keberadaan homeschooler, sebagai warga negara homeschooler berhak memperoleh ujian persamaan yang diadakan oleh depdiknas secara berkala.
8. Homeschooler tidak bisa masuk universitas ternama
Apakah seorang homeschooler bisa masuk sebuah universitas sangat tergantung pada kemampuan masing masing homeschooler serta kebutuhan mereka. (kenapa kebutuhan? Karena apabila homeschooler memutuskan bahwa dia ingin menjadi pemain sepak bola pro tentunya dia tidak perlu mencurahkan waktunya untuk memenuhi prasyarat penerimaan universitas) Secara teknis, tidak ada kendala bagi homeschooler untuk memasuki universitas. Belum ada data pasti di Indonesia mengenai jumlah homeschooler yang pernah atau sedang belajar di universitas-univesitas dalam negeri tetapi di Amerika Serikat, sebagai contoh, homeschooler bisa ditemui di setiap Ivy League Universities.
9. Homeschooler tidak mampu berkompetisi
Dalam homeschooling, kompetisi terberat yang dihadapi seseorang adalah kompetisi melawan diri sendiri. Kompetisi tidak dipandang sebagai usaha menjatuhkan siapa saja tetapi lebih kepada usaha melihat kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan orang lain sehingga dengan bekal penerimaan ini anak sadar akan pentingnya sinergi dengan orang lain. Kompetisi bertaraf internasional sebagai ajang menilai kemampuan juga bebas diikuti oleh homeschooler, sebagai contoh kecil, National Geographic Bee, Spelling Bee beberapa tahun berturut turut dimenangkan oleh homeschooler. Iya, anak-anak yang tidak pernah “menginjakkan” kakinya di sekolah.
10. Tidak ada orang orang besar yang homeschooler, sekolah adalah satu satunya jalan
Pernah dengan nama nama: Albert Einstein, Alexander Graham Bell, Pearl Buck, Agatha Christie, Thomas Edison, C.S. Lewis, George Bernard Shaw, Woodrow Wilson, Andrew Wyeth, Galileo Galilei, Gen. George Patton,Abigail Adams,James Madison,Franklin Delano Roosevelt,Cyrus McCormick,Theodore Roosevelt,Hans Christian Andersen,Daniel Webster,Claude Monet,C.S. Lewis, John Stuart Mill, John Quincy Adams,Ben Franklin, Douglas MacArthur,James Monroe,Patrick Henry, Andrew Carnegie,Brett Harte,Wolfgang Mozart,Wilbur & Orville, Wright,Florence Nightingale,Stonewall Jackson,George Washington, Carver,Abraham Lincoln,Blaise Pascal,Mark Twain,Charlie Chaplin,Charles Dickens, Winston, Churchill,Leo Tolstoy,William Penn, George Rogers, Clark,Phyllis Wheatley,Pierre Curie,John, Wesley,Pierre DuPont,Albert Schweitzer. Dari Indonesia: K. H. Agus Salim. Persamaan dari mereka selain mereka orang orang besar yang membuat perubahan besar di dalam sejarah peradaban manusia? Mereka homeschooler.
11. Homeschooler tidak bisa menikmati inovasi dan kemajuan dunia pendidikan
Hampir tidak ada inovasi di dunia pendidikan yang tidak bisa dinikmati oleh homeschooler. Apabila di sebagian besar sekolah, sekolah sekolah elit sekalipun, setiap inovasi pendidikan harus melalui tahapan yang sangat panjang untuk bisa dinikmati siswa, misalnya pembentukan wacana dulu, rapat ini itu, planning, dan kadang tidak terlaksana karena terbentur berbagai masalah, homeschooler dapat melakukan langsung tanpa birokrasi yang berbelit belit. Ambil beberapa contoh, homeschooler bisa membantu para ilmuwan NASA untuk mempelajari batuan di mars atau berinteraksi langsung dengan para astronot bahkan terlibat dalam penamaan space station yang sekarang tengah dibangun. Homeschooler dapat menikmati digital library yang berisi beribu ribu literature dari karya aristoteles sampai mahabarata. Homeschooler yang tidak memiliki alat alat laboratorium di rumah bisa menggunakan virtual lab dengan alat dan berbagai macam bahan kimia. Homeschooler bisa menjelajah berbagai belahan dunia dari puncak tertinggi everest sampai palung terdalam mariana trench di lautan pasifik. Contoh di atas Cuma sebagian kecil saja dari kemungkinana yang tidak terbatas. Dan berapa harga yang harus dibayar untuk itu semua? Tidak lebih dari 10.000 rupiah.
12. Homeschooling mahal Standard mahal atau murah sangat relatif
Yang terpenting adalah apakah materi yang kita korbankan setara dengan kualitas yang kita dapatkan. Kalau biaya homeschool dibandingkan dengan SPP sekolah inpres, jelas homeschool akan dianggap sebagai alternatif pendidikan yang mahal. Tetapi misalnya dengan biaya 20% dari sekolah elite di Jakarta kita bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang setara dengan sekolah sekolah terbaik di Jepang, Inggris, Amerika, Jerman, atau negara negara maju lainnya, apakah pengorbanan itu masih dianggap mahal? Pada prakteknya homeschool akan menjadi mahal kalau kita sebagai orangtua malas dan tidak kreatif
13. Homeschooling hanya bisa dilakukan oleh masyarakat dari kalangan tertentu saja
Berjuta juta keluarga yang melakukan homeschooling di seluruh dunia memiliki karakteristik demografi yang beragam. Ada yang tinggal di perkotaan, di dalam hutan atau di kutub sekalipun. Ada yang dari keluarga menengah ke atas atau dari keluarga yang secara financial masih prihatin. Ada keluarga homeschooling yang hanya memiliki satu anak, ada juga yang meng-homeschol 19 orang anak anak mereka sekaligus. Ada yang orangtuanya bekerja sebagai professional atau memiliki usaha sendiri. Ada yang ibunya tinggal di rumah atau memiliki karir. Ada yang orantuanya memiliki gelar Phd tetapi ada juga yang cuma lulusan SMA, dan lain lain. Keluarga keluarga yang melakukan homeschooling sangat beragam sehingga anggapan bahwa homeschooler adalah masyarakat elite baru sangat tidak benar.
14. Homeschooler tidak nasionalis
Homeschooling tidak menyebabkan seorang individu menjadi nasionalis atau tidak. Tumbuhnya nasionalisme sangat tergantung dari apa dan bagaimana rasa nasionalisme tersebut ditanamkan. Sudah menjadi kenyataan dan hendaknya tidak disangkal atau ditutup tutupi lagi bahwa sekolah sekolah kita (di Indonesia) sudah sejak lama gagal menumbuhkan rasa nasionalisme. Homeschooler memiliki kesempatan yang tidak terbatas untuk mempelajari berbagai aspek dari negeri tercinta ini tanpa harus berpikir “nanti kalau tidak hafal dapat nilai berapa ya?”. Homeschooler diajar untuk memengerti dan mencintai negeri ini bukan menghafal dan terus mengumpat. Dan homeschooler bisa lantang berbicara untuk menolak menghafal misalnya bahwa Tembagapura di Irianjaya adalah penghasil tembaga padahal kenyataannya berton-ton emas juga di tambang di sana.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Free Blooming Red Rose Cursors at www.totallyfreecursors.com