Tulisan
ini di copy paste secara utuh dari notes FB : Yuk-Jadi Orang Tua Shalih
Anak-anak
berantem itu tidak bisa kita hentikkan karena berantem seperti yang sering saya
bahas sebenarnya baik untuk anak belajar mengelola konflik di masa depan.
Adakah manusia setelah dewasa bebas dari konflik? Dengan tetangga, suami –
istri, adik-kaka, di kantor? Tidak ada satu pun anak yang tidak pernah berantem
dan berantem (dalam artian konflik) dan karena itu berantem akan terus
berulang. Oleh karena paradigma yang harus kita bangun barentem itu harus kita
kelola bukan kita hentikkan. Silahkan baca tulisan lebih lengkap lain dalam
arsip tulisan saya yang lain “berantem itu baik” dalam salah satu buku best
seller saya “Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih?”
![]() |
Gambar diambil dari sini |
“Abah, jika kita melihat anak kita disakiti oleh temannya di
depan mata untuk pertama kalinya, apa yang harus kita lakukan? (anak saya laki2
2,5 tahun) apakah saya langsung menasihati anak lain itu, mencover anak kita
sesegera mungkin, atau memotivasi anak sendiri untuk fight atau
bagaimana?
Kapan waktu terbaik menasihati anak bila terjadi peristiwa ini?
Di depan teman tersebut atau nanti waktu pulang? Saya mengalami ini, anak saya
dipukul, sementara ibu sang anak berdiri disamping saya dan cuek-cek saja
melihat anaknya menyakiti anak saya.”
Panduannya sudah jelas apa yang dikatakan Rasulullah dalam
haditsya yang shahih “man roa minkum munkaron fal yughayyir biyadih, fainlam
yashtati fabilissaani, fainlam yashtati fabiqolbihi, wa dzaalika adh’aful
iiman”. Kata Rasulullah saw, jika melihat kemunkaran, cegahlah dengan tanganmu
(kewenangan atau kekuasaan kita), jika tidak bisa cegahlah dengan lisanmu dan
jika tidak dengan hatimu, tapi itu selemah-lemahnya iman.
Ketika anak kita disakiti temannya di depan diri kita, orangtua
bukan hanya jangan tapi memang tidak boleh diam. Karena itu tindakan
kedzaliman. Perkara orangtua anak yang menyakiti diam saja bukan berarti kita
harus juga mendiamkannya.
Lalu bisa saja orang berdalih “urusan anak orangtua jangan ikut
campur” ya sepanjang anak tidak melakukan tindakan fisik dan menyakiti,
orangtua memang tidak usah ikut campur, tapi jika nyata-nyata sudah melakukan
tindakan yang menyakiti anak lain di depan mata kita, orangtua wajib ikut
campur. Lebay-nya, masa sih kita mendiamkan anak-anak lain, meski bukan anak
kita (apatah lagi anak kita), jika misalnya saling bunuh-bunuhan dengan alasan
“urusan anak orangtua jangan ikut campur”. Jadi dalih bawha urusan anak
orangtua jangan ikut campur harus disesuaikan konteks masalah dan kejadiannya.
Bisa jadi bahwa orangtua anak teman ibu diam saja karena dia pun
sendiri sebenarnya malu dengan apa yang dilakukan anaknya atau kemungkinan lain
dia sendiri menganggap wajar apa yang dilakukan anaknya dengan dalih di atas
tadi “ah itu urusan anak” apalagi posisi anaknya sendiri bukanlah yang
disakiti. Tapi menurut bunda, apakah orangtua ini akan diam saja saat anaknya
yang dalam posisi disakiti?
Sekali lagi jika kejadiannya begitu, orangtua harus mencegahnya
atau melakukan tindakan bukan mendiamkan. Kita memang memiliki kewenangan untuk
itu. Karena kita dalam posisi orangtua dari anak yang disakiti.
Tindakan apa yang dapat dilakukan? Tentu bukan balik memukul
anak yang sudah memukul anak kita atau memprovokasi anak kita untuk memukul
balik atau apalagi dengan menyerang secara verbal dari orangtua anak yang
menyakiti tadi karena mendiamkan. Tindakan-tindakan seperti ini ahanya akan
memperumit masalah. Yang dapat kita lakukan adalah DENGAN TENANG, pegang tangan
anak yang memukul tadi dan katakan dengan lembut tapi tegas, misalnya nama
teman anak kita azis, kita katakan “Azis, tidak boleh nak, temannya bisa sakit
dipukul. Itu menyakiti ya. Azis juga kalau dipukul sakit kan?’
Mungkin Azis akan memberontak atau meronta-ronta. Lalu kita bisa
bekerjasama dengan orangtua anak tadi dengan mengatakan “Bu, maafkan saya kalau
saya telah buat anak ibu tidak nyaman, ini untuk kebaikan anak kita bersama,
boleh pegang anaknya bu?”
Memang jika Bunda termasuk orang yang ‘tidak enakkan’ mengatakan
kalimat itu sungguh memerlukan keberanian. Tapi itu memang harus dilakukan.
Jika belum terbiasa mungkin bisa berat, tapi kalau sering insya Allah tidak
karena niat kita bukanlah untuk balas menyakiti anak tadi tapi justru
menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.
Lalu setelah kasus di “TKP” selesai, barulah di tempat lain
Bunda bisa melatih anak Bunda untuk mencari solusi apa yang harus dilakukan
jika ada temannya mencoba menyakiti lagi. Bukan hanya oleh Azis tapi oleh
siapapun.
Ada tiga pilihan yang dapat kita latih pada anak kita saat dia
mendapatkan bullying atau intimidasi dari temannya. BICARAKAN, LAWAN ATAU
LAPORKAN!
Pertama, latih anak kita untuk menyatakan ketidaksukaan,
ketidaksetujuan dan penolakan melalui ucapan. Jika teman kamu hendak menyakiti
kamu ajak teman kamu bicara bahwa itu bisa membuat kamu sakit. Seperti “nggak
boleh begitu, itu membuat aku sakit” atau “berhenti, itu sakit!”
Orangtua wajib mengajarkan anak-anaknya kemampuan asertif,
yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan
cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk “mengatakan” TIDAK atas
tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan
cara kekerasan.
Anak-anak terus menyakiti salah satu sebabnya karena yang
disakiti terus diam dan tidak mengungkapkan apa yang dirasakannya. Saat mainan
hendak diambil paksa temannya, latih anak kita untuk mengatakan “tidak boleh
itu punyaku, kalau kamu mau pinjam kamu harus minta izin dulu”.
Pilihan kedua, jika anak lain masih menyakiti anak tersebut dan
tidak berhenti atau mengulang lagi perbuatannya latih anak kita untuk LAWAN!
Bukan mengalah atau menghindar.
Kata siapa mengalah itu selalu baik? Saat anak kita didzalimi,
maka latih anak kita sebaik-baiknya dengan melawan. Ini berlaku juga meski
sesama saudara. Jika adik atau kakak kamu menyakiti kamu lawan! Bukan
malah mengatakan “Kakak, ngalah dong sama adik!” atau dengan perkataan “Kakak,
kalau adik mukul, kakak lari ya, jangan balas!”
Seorang ibu di Kutacane, Aceh Tenggara, bercerita pada saya
bahwa selama ini dia selalu mengatakan pada anaknya yang pertama, 7 tahun untuk
mengalah pada si adik yang 4 tahun dengan alasan adiknya masih kecil, masih
lemah. Sehingga akhirnya si Kakak ini meski adiknya mukul sekalipun jika di
depan orangtuanya akan diam saja. Celakanya, kata si ibu tadi, ternyata akibat
sering diam atau tidak boleh melawan, ketika kami tidak ada, ditinggal sebentar
saja mereka ditinggal berdua, si kakaknya justru melampiaskan kekesalan pada
adiknya secara berlebihan dengan memukuli adiknya sepuasnya.
Tapi ingat, melawan sangat berbeda dengan mengajarkan balas
dendam, apalagi untuk menyuruh anak kita berantem! Ketika anak kita melapor
bahwa dia dipukul hari ini, lalu kita katakan pada anak kita “besok kamu kejar
anak itu lalu pukul lagi!” Ini tidalah tepat. Ini mengajarkan balas dendam.
Melatih anak melawan bukanlah mengajarkan anak membalas.
Atau seperti dipraktikkan sebagian kecil guru sekolah yang
mempraktikkan “qishos” pada anak muridnya saat satu murid disakiti murid lain
dengan cara memanggil kedua murid. “A tadi dipukul ya sama B, sekarang A,
karena kamu sudah mukul B, B akan memukul kamu lagi. Kamu diam dan tidak boleh
melawan karena kamu harus mendapatkan balasan yang setimpal dari teman kamu”.
Setelah itu biasanya guru membiarkan si B memukul si A dan lalu menyuruh mereka
bersalaman dan saling memaafkan. Ini sama sekali tidak tepat. Ingat, kalau Anda
mau merujuk syariat sekalipun , yang berhak melaksanakan praktik ini hanyalah
berdasarkan keputusan hakim, melalui institusi negara. Bukan sembarangan orang!
Maka sebagian kecil orang, termasuk guru tidak berhak memposisikan diri sebagai
hakim tanpa legalitas negara.
Melawan artinya kita tidak diam saat orang lain menyakiti kita.
Melawan artinya anak kita harus dilatih untuk menegakkan kebenaran. Melawan
artinya kita membela diri sebelum orang lain menyakiti kita. Melawan tidak
berarti harus melukai orang lain. “Jika adik kamu mau mukul, kamu pegang
tangan adik, jangan biarkan dia memukul kamu” atau “Jika teman kamu hendak
mendorong kamu, kamu harus menghindar atau jika dia terus memburu kamu, kamu
boleh mendorong dia duluan. Jangan pernah biarkan teman kamu untuk melukai
kamu.”
Perkara anak lain menangis karena didorong sama kita, itu tidak
lah menjadi penghambat sepanjang niat untuk membela diri. Memang mungkin tidak
membuat nyaman, atau motif membela diri anak-anak kadang menjadi ‘abstrak’
karena semuanya akhirnya dipukul rata dalam rangka membela diri, tapi lebih
bemasalah jika kita terus-terusan membiarkan anak kita disakiti anak lain.
Bahkan kasarnya, di pengadilan pun membunuh karena tidak berniat atau merencanakan
membunuh tapi karena membela diri dari orang yang menyerang kita tidaklah akan
pernah diberikan hukuman.
Melawan juga tidak berarti harus kekerasan dibalas kekerasan.
Melawan bisa juga dengan cara mencari cara-cara damai untuk menyelesaikan
perselisihan seperti tahap pertama “diajak bicara” tapi adakalanya anak kita
tidak bisa menghindari situasi dimana-mana ada anak lain yang tidak bisa diajak
bicara lalu tiba-tiba menyerang anak kita. Nah inilah fungsi melawan.
Melawan juga bukan berarti melulu menyerang anak lain secara
fisik tapi mengantisipasi saat diserang secara fisik. Saat misalnya makanan
anak kita atau uang anak kita dirampas anak lain, anak kita boleh kita latih
untuk mengambil kembali makanan atau uang yang dirampas temannya. Itu saja. Kalau
uang itu telah kembali, tidak harus temannya dipukul atau didorong lagi. Tapi
saat temannya hendak memukul atau mendorong maka dia boleh membela diri:
menghindar, mendorong duluan atau bahkan memukul duluan. Mengatakan “sudah
ikhlaskan saja, gak usah dilayanin kalau teman kamu ngambil uang kamu, itu akan
jadi kebaikan” itu mirip dengan saat ada rampok ke rumah kita dan kita
mengatakan “sudah, ambil saja semuanya, saya ikhlas, saya shodaqoh buat kalian
rampok!”. Kalau Anda polisi dan kebetulan Anda punya senjata di rumah Anda,
Anda punya kewenangan untuk melawan!
Melawan dalam bentuk lain adalah LARI jika anak kita memiliki
daya yang tidak kuat untuk melawan. Menghindari dari bahaya atau
setidak-tidaknya tidak membiarkan terus-terusan diintimidasi. Dan setelah itu
baru beralih ke pilihan ketiga.
Pilihan ketiga adalah LAPORKAN. Adakalah kita sendiri dalam
kehidupan nyata tidak memiliki daya atau dalam konteks masalah di atas, tenaga
anak kita tidak memungkinkan untuk melawan karena teman yang tadi lebih besar
atau lebih banyak. Atau daripada jadi tambah panjang masalahnya, maka latih
anak kita untuk melakukan pilihan ketiga LAPORKAN!
Ketika saya berkeliling 3 kota di Jepang, kita tahu masyarakat
Jepang memiliki salah satu budaya positif: tidak mau mengganggu orang lain
(lepas dari dampak negatifnya). Tapi ada kalanya jika misalnya ada satu kasus
di satu rumah keributan antar suami istri jadi berlebihan sehingga menganggu
tetangga lainnya, maka saya mendapatkan cerita, yang biasanya dilakukan
tetangga yang terganggu bukanlah mendatangi tetangga yang ribut tadi, lalu
menegur merek, tapi melaporkan kepada polisi. Dan polisi memiliki kewenangan
ini karena suami istri yang ribu tadi mengganggu ketertiban umum.
Ketika anak kita diintimidasi anak-anak kita boleh dilatih untuk
MELAPORKAN kepada pihak-pihak yang berwenang. Saat di sekolah, laporan kepada
guru, saat di lingkungan umum kepada polisi, security atau orang dewasa lain
yang kebetulan hadir di situ. Saat di lingkungan tetangga boleh melaporkan pada
orangtua anak yang menyakiti tadi atau kepada orangtuanya sendiri.
0 comments:
Post a Comment