RSS

Wednesday, May 8, 2013

Alasan memilih Homeschooling

Pemikiran tentang homeschooling mulai bergulir saat aku masih hamil anak pertama. Banyak sekali alasannya. Aku coba tuliskan, supaya suatu saat anak - anakku bisa mengerti kenapa aku memilih HS untuk mereka.
Animated GIF diambil dari sini
1. Sekolah terlalu banyak membuang waktu. 
Dari pengalamanku, menyelesaikan sekolah sampai S2, membutuhkan waktu sampai sekitar 19 tahun, namun pada kenyataannya, hanya sedikit sekali materi pelajaran yang berguna dalam kehidupan nyata atau berguna dalam pekerjaan yang aku geluti. 
Justru banyak pelajaran hidup yang kudapat dari kehidupan nyata, dari bergaul dengan banyak orang, dari media dan dari sumber - sumber lainnya (internet misalnya). 
Hal lain yang aku alami adalah, bahwa ternyata, untuk belajar atau mengerti tentang sesuatu, tidak terlalu membutuhkan bantuan guru. Kita dapat belajar secara otodidak, dan semangat belajar otodidak ini akan lebih terasa terutama pada saat saya mempelajari sesuatu yang memang saya sukai. 
Membuang waktu disini, juga terasa jika saya menghitung waktu yang terpakai untuk pergi dan pulang sekolah. Kondisi jalan yang makiiiinn macet juga memperpanjang waktu yang terbuang.  Paling tidak membutuhkan waktu sekitar 1 jam, mulai dari persiapan anak untuk mandi, sarapan, pergi dan pulang dari sekolah. Weeeeww, dalam 1 jam, aku dan anak - anak sudah bisa melakukan banyak hal di rumah. 
2. Sekolah banyak membuang energi
Apa yang kurasakan saat aku masih sekolah, banyak sekali energi yang terbuang. Mulai dari energi untuk mengerjakan tugas (yang kadang kurasakan tugas tersebut tidak bermanfaat, kecuali hanya untuk mengejar nilai), energi untuk persiapan ujian, energi otak untuk melakukan pekerjaan menghafal (masih ingat sekali, dulu diminta untuk menghafal nama - nama menteri kabinet...for whaattt ? lah orang setiap 5 tahun, kemungkinan menterinya ganti, jiah...what a waste :P ). 
Kalau sekarang, energi tambahan yang terbuang adalah kemungkinan untuk ngomel - ngomel karena anak - anak susah dibangunin, mandi dan sarapannya lamaaa, energi untuk menempuh kemacetan yang syuper, dan energi untuk ngerjain PR dari sekolah...weeewww...ogah deh :D
3. Sekolah banyak membuang uang
Komersialisasi pendidikan. Arrrggghhh...sebel kalau tahu tentang itu. Belum lagi, tambahan uang untuk biaya seragam, biaya gedung, biaya transport, biaya buku (yang kadang ga perlu ), biaya les tambahan sama guru, dan biaya antar jemput (transport), dan biaya bla bla bla lainnya yang mungkin sangat jauh lebih mahal kalau dibandingkan dengan belajar di rumah, he he. 
Memang sih, sekolah negeri sekarang, KATANYA gratis, tapi ternyata ga gratis gratis tis amat tuh. Dilapangan, banyak biaya - biaya siluman yang tetap saja harus keluar. 
Belum lagi kalau misalnya ada pemikiran untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta, yang pasti biayanya mencekik leher sampai ga bisa ketawa (ha ha ...lebay-mode-on). 
Dari obrolan dengan para emak - emak yang punya anak seumuran Nay, yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, biaya yang keluar (weeeewww), ternyata bisa sangat menyakitkan (lebay lagi ahhhh...). 
Mulai dari biaya seragam, biaya field trip, biaya karena sekolahnya bilingual (janjinya akan mendatangkan native speaker, orang bule beneran sebagai guru, tapi nyatanya tetap aja gurunya adalah orang Indonesia aslihhh ), biaya ekskul, biaya gedung, dan biaya bla bla bla lainnya. 
Eh, mungkin kalau yang di sekolah mahal gitu, ada tambahan biaya lain lagi, yaitu biaya gengsi. Misalnya nih, anak - anak di sekolah itu, udah pada pakai gadget yang ampun - ampun, dan anak kita mupeng juga mau punya, nah, si ortu mungkin akan amat sangat dengan terpaksa ngeluarin budget untuk membelikan anaknya gadget yang keren juga....atas nama GENGSI...Woaaaallaaahhh...kecil - kecil sudah di drive untuk bergengsi ria...
4. Sekolah membebani otak dengan terlalu banyak materi
Dari informasi terakhir yang aku tahu, jumlah mata pelajaran di SD itu ada sekitar 11. Rencana kedepan, KATANYA akan dikurangi. Hemmm...let me get this straigt, apa memang semua hal itu layak dijadikan sebagai mata pelajaran ? considering bahwa di real life, banyaaaaakkkk banget (in my own experience) mata pelajaran yang tidak terpakai. Atau, kalaupun terpakai, adalah sebatas teori yang mungkin pada saat anak besar nanti, teori atau materinya sudah tidak up to date alias basi untuk dipakai. 
Belum lagi kalau misalnya ngomongin soal mata pelajaran yang memerlukan banyak hafalan. Well, kapasitas ruang di otak yang seharusnya bisa dipakai untuk hal lain diluar menghafal, akhirnya hanya diisi oleh hafalan - hafalan yang tidak aplikatif di dunia nyata. 
Hal lain adalah, misalnya untuk pelajaran tentang agama dan moral. Dua hal ini, tidak hanya terbatas pada teori dan hafalan, tapi juga membutuhkan praktek yang kontinyu dan lingkungan yang mendukung untuk itu. 
Logika sederhananya, bagaimana bisa, anak diminta untuk berperilaku baik, secara agama dan moral, jika mereka hanya bertemu dengan pelajaran itu (let say), 1 minggu sekali dengan hanya sekitar 1.5 jam pertemuan ?
No wonder, kalau misalnya anak hanya mengetahui itu sebatas teori, okaylah, mungkin ada juga prakteknya, tapiiiiii itu sangat kurang dan jauh dari bisa diandalkan. 
5. Pergaulan di sekolah bisa membawa hal negatif buat anak
Okay, lanjut ngebahas tentang pergaulan di sekolah. Banyak hal positif, namun banyak juga negatifnya. Well, karena aku orangnya tipe yang "lebih baik mencegah daripada (malas) mengobati", maka here we go....
Ngebahas negative side dari pergaulan di sekolah : mulai dari bullying, narkoba, seks bebas / pergaulan bebas, tawuran, nyontek (well, ini pernah aku lakukan untuk mengejar nilai...maaf ya anak-anakku sayang...mohon ini JANGAN ditiru...hiks...), materialistis, sampai pada konsumtif karena ngejar gengsi dengan anak - anak lain. 
6. Sekolah membatasi kreatifitas anak
Aktifitas sekolah kebanyakan diisi dengan duduk diam mendengarkan gurunya berbicara, cukup jarang dimana murid diajak untuk bereksplorasi dengan kreasinya sendiri. Well, for sure ini bisa mematikan kreatifitas anak, belum lagi misalnya anak diminta untuk mengikuti pakem - pakem tertentu dalam berkreasi, misalnya nih, saat menggambar awan, harus menggunakan warna dan bentuk tertentu. Kalau diluar kebiasaan, akan dianggap aneh, nah, kalau sudah begitu, gimana anak akan menjadi luar biasa dengan kreatifitasnya ? gimana hayooo ? bisa bantu jawab ?
7. Sekolah menyeragamkan individu anak yang unik
Tiap individu itu unik, mulai dari sifat, cara belajar, minat bakat, kapasitas, keahlian dan hal lainnya. Tidak ada yang sama. Lantas, dimana logikanya, saat misalnya 20 orang anak dikumpulkan dalam 1 kelas tertentu, untuk mempelajari hal yang sama, dengan cara yang relatif sama untuk mengejar nilai semata ? buatku itu ga make sense :D
8. Sekolah membatasi sosialisasi anak
Sosialisasi sering menjadi isu dalam homeschooling, padahal kalau dipikir baik - baik, sosialisasi di dunia nyata itu jauh berbeda dengan sosialiasi yang ada di sekolah. Di sekolah, anak akan "terjebak" dengan orang yang sama, umur yang relatif sama, di lingkungan yang sama, dengan gaya yang sama selama bertahun - tahun lamanya. Padahal di dunia nyata, orang akan memerlukan kemampuan untuk dapat bergaul dengan orang yang selalu berbeda, di tempat berbeda dengan orang yang tidak seumuran dan dengan gaya yang berbeda juga. 
Well, kalau menurut pendapat pribadi, justru akan lebih sulit menyiapkan anak untuk bisa bersosialisasi dengan baik, jika ia berada di lingkungan yang ter-isolasi. 
Sosialisasi anak HS dapat dilakukan dengan mengikutkan anak di berbagai klub yang sesuai dengan minat anak, atau dengan melibatkan anak untuk ikut serta dalam kegiatan orangtua, atau dengan mengunjungi tempat publik agar anak bisa belajar berkomunikasi dan bersosialisasi secara langsung dari kehidupan nyata.  
9. Sekolah memberikan pelajaran yang kadang tidak aplikatif di dunia nyata nantinya
Setelah menghabiskan waktu bertahun - tahun lamanya, aku merasakan bahwa hanya sedikit sekali pelajaran yang aplikatif pada saat aku bekerja atau saat berada di dunia nyata. Sekolah terlalu banyak memberikan teori, dan saking banyaknya, jadi bikin lupa, ha ha. Sering juga teori yang diajarkan sudah tidak uptodate untuk dipakai pada saat bekerja di dunia nyata, karena dengan adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, materi belajar bisa saja berubah. 
10. Dengan HS, aku merasa menjadi lebih dekat dengan anak
Dengan HS, tentu saja anak - anak akan lebih sering menghabiskan waktu dengan aku. Hal ini membuat hubungan kami lebih dekat, kami bisa mengobrol lebih banyak, lebih bisa mengetahui hal apa saja yang disukai atau tidak disukai. Minat dan bakat anak akan lebih mudah dikenali, sehingga nantinya akan dapat lebih memberi gambaran tentang jenis profesi apa yang bisa dijalaninya kelak dimasa depan. Pekerjaan rumah yang kami lakukan bersama juga bermanfaat untuk memberi pembelajaran tentang pentingnya kerjasama sehingga dapat lebih mempererat hubungan kekeluargaan kami.
11. Dengan HS, kami bisa belajar apa saja, dimana saja, dengan bantuan alat apa saja, kapan saja, dengan siapa saja, dengan cara apa saja. 
HS memungkinkan anak untuk memilih materi pelajaran apa saja yang ingin dipelajari. Belajar juga tidak dibatasi dengan tempat belajar tertentu. Kami juga bebas menentukan alat bantu apa yang akan kami gunakan selama dalam proses belajar kami. Waktu belajar juga menjadi sangat flexible. Guru atau pendamping dalam proses belajar kami juga tidak terbatas, dan kami juga dapat memilih guru seperti apa yang ingin kami jadikan sebagai pembimbing dalam materi belajar kami. Cara belajar anak yang unik (ada audio, visual dan kinestetik) juga bisa kami terapkan secara bebas dalam metode belajar kami. 
12. Dengan menjadi homeschool Mom membuat aku kembali belajar hal - hal baru yang bermanfaat bagi kepentingan bersama.
Nayla sering sekali bertanya hal - hal yang aku tidak mengerti. Jawaban dari pertanyaannya mungkin dulu pernah aku pelajari di sekolah, namun karena lupa, sehingga aku tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Hal ini kemudian membuatku mencoba mencari tahu jawaban atas pertanyaannya, tentu saja mostly dengan bertanya pada Om Google  (he he), atau jika beruntung, bisa juga dengan melihat Tante Youtube.  Contoh pertanyaannya misalnya, kenapa kita tidak merasa pusing, padahal bumi berputar, atau misalnya tentang mobil terbuat dari apa, bagaimana cara membuat boneka, dll. 
Soooo, begitulah, dengan memilih HS, membuatku belajar kembali hal - hal yang tidak aku ketahui sebelumnya, agar dapat menjawab pertanyaan Nayla.
13. Dengan HS, anak bisa belajar langsung dari dunia nyata. 
Dunia nyata menurutku adalah tempat belajar yang sangat luas dan dekat dengan kegiatan praktek langsung di lapangan. Pengalamanku teman-temanku, yang kuliah S1, ternyata sangat sedikit sekali ilmu kuliah yang aplikatif di dunia kerja. Pengalamanku sendiri kuliah di S2, ternyata banyak materi yang sebetulnya bisa dipelajari sendiri, dan melihat langsung praktek yang berlaku di perusahaan. Banyak teori di sekolah yang kurang begitu aplikatif di dunia nyata. 
14. Aku bisa belajar untuk menjadi lebih sabar (maklum, sumbu pendek, he he)
Nah, ngomongin tentang sabar nih, dari keseharian aku dan anak - anak, aku HARUS banyak sekali berbuat sabar. Celetukan Nayla yang membuatku berfikir dalam sambil tersenyum adalah : "Mama...pahalanya Mama sama pahalanya Nayla itu, banyakan pahalanya Nayla, abis Mama kan suka marah - marah, jadi pahalanya abis deh..."
Jleeebbb...dalem...harus belajar banyak untuk bersabar :)
15. Dengan HS, kami bisa bepergian kapan saja, tanpa harus memikirkan waktu liburan sekolah, peak season, high season, or what ever season is...
Dengan HS, karena waktu belajarnya ditentukan oleh kami sendiri dan tidak tergantung pada waktu belajar di sekolah, maka sangat memungkinkan bagi kami untuk bepergian kapan saja, tanpa terikat dengan jadwal liburan tertentu...Senangnya... :)
16. Aku dan anak - anak bisa lebih leluasa mengatur jadwal dan materi pelajaran kami.
Dalam prosese belajar kami, aku dan Nayla juga pernah mengalami kejenuhan terhadap materi atau jadwal pelajaran. Kalau sudah begini, biasanya aku akan mengambil waktu jeda, untuk kemudian melanjutkan proses belajarnya lagi. HS membuatnya menjadi lebih flexible. 
17. Pelajaran tentang moral, budi pekerti dan perilaku, lebih mudah aku berikan, karena tidak terpengaruh dengan model moral dan perilaku orang lain.
Anak - anak adalah penyerap yang baik. Mereka akan cenderung mengikuti perilaku orang sekitarnya. Terus terang, saat ini aku melihat adanya perubahan perilaku, moral dan budi pekerti yang cukup signifikan pada anak - anak, jika dibandingkan dengan jaman aku kecil dulu. Mungkin karena faktor TV, Internet, lingkungan media lainnya. 
Jika anak tertular perilaku buruk dari lingkungan di luar pengawasanku, agak sulit untuk mencegah penularan itu. 
Contoh mudah, jika anak berada di lingkungan sekolah yang buruk, agak sulit untuk kemudian mencegah atau mungkin memindahkan anak dari satu sekolah ke sekolah lainnya. 
Namun hal ini tidak berarti juga aku mengisolasi pergaulan anak - anak. Dengan HS, aku memiliki keleluasaan yang lebih untuk dapat memilih pergaulan seperti apa yang sehat untuk anak - anakku. 
Memilih teman pergaulan bagi anak, adalah yang penting untuk dilakukan. Bukankah Rasulullah SAW sendiri pernah mengatakan bahwa jika bergaul dengan tukang minyak wangi, akan tertular wangi, jika bergaul dengan tukang pandai besi akan terpecik apinya. Terlebih anak - anak masih belum dapat memilah mana yang baik dan mana yang tidak. 
18. Adik dan kakak bisa belajar bersama, kadang kakak juga bisa mengajarkan adiknya untuk hal - hal tertentu. 
Salah satu cara belajar kami, adalah lewat permainan, dimana Nayla sering mengajarkan Ali suatu hal tertentu saat mereka bermain bersama. Misalnya saat bermain lego, melukis, atau bermain dengan puzzle. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat, selain untuk kebersamaan dan kedekatan hubungan, bermain dan belajar bersama juga dapat melatih toleransi anak, misalnya saat bergantian memakai alat permainan dan juga bersabar untuk menunggu giliran. 
19.  Anak - anak bisa memiliki waktu istirahat yang lebih banyak.
Waktu istirahat terbukti penting bagi pertumbuhan anak. Dengan HS, waktu istirahat anak akan lebih banyak, jika dibandingkan dengan anak yang sekolah, yang sering menghabiskan banyak waktu di jalan pada saat pergi dan pulang dari sekolah. 

20. Sekolah lebih berorientasi kepada mengejar nilai, ijazah, kebanggaan orangtua, terlatih untuk mengerjakan soal tanpa mengerti maknanya dalam kehidupan nyata, serta memaksa kerja otak untuk pelajaran yang lebih banyak menghafal. 
Lagi lagi dari pengalaman pribadi nih...Pada saat aku sekolah dulu, mengejar untuk mendapatkan nilai baik adalah suatu keharusan, karena ingin membuat orangtua bangga dengan bagusnya nilaiku. Cara yang kulakukan juga kadang tidak terhormat, yaitu dengan nyontek, yang penting dapat nilai bagus. 
Hal ini tentu saja BUKAN merupakan tindakan terpuji, tapi harus kuakui bahwa aku ingin orangtuaku bangga, meskipun di balik itu ada tindakan buruk yang kulakukan. (MAAF YA NAK, JANGAN DITIRU...#merenung#). 
Di lain sisi, aku juga sering melakukan latihan soal agar nantinya dapat mengerjakan ujian dengan baik, tapi setelah semua soal - soal itu kukerjakan, sedikit sekali yang berguna di dunia nyata. 
Terlebih kalau sekarang aku mendengar / membaca ujian anak - anak SD, menurut ku banyak sekali pertanyaan yang cenderung konyol dan "tidak berguna". Belum lagi kasus dimana adanya ujian sekolah anak SD yang mengandung unsur pornografi. Duh...ampyun deh... :(
Belum lagi dengan pelajaran yang lebih mengandalkan hafalan untuk bahan ujian. Misalnya mata pelajaran IPS. Padahal apa yang dihafal, kadang sudah tidak signifikan nantinya. Contoh nih ya, aku dulu disuruh menghafal nama - nama Menteri kabinet Pembangunan, padahal namanya sering berubah setiap ganti kabinet...Buat apa coba ? Sekedar tahu mungkin iya, tapi sampai di-ujikan ? Hem....tidak terasa manfaatnya sekarang. Padahal itu udah menyita kapasitas otakku saat itu...#Sebel-mode-on# :D
21. Tidak terlalu pusing dengan Ganti Menteri, Ganti Kurikulum, Ganti kebijakan, Ganti buku, dll. 
Walaupun melakukan HS, aku masih memantau perkembangan sistem pendidikan di sekolah, sekedar untuk pengetahuan dan kadang untuk perbandingan. Namun tidak untuk menjadi acuan. 
Karena sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sistem pendidikan di Indonesia itu bergantung kepada pembuat peraturan, which is pemerintah, dalam hal ini KEMENDIKNAS, dulunya KEMENDIKBUD. 
Well, dengan HS, Alhamdulillah, aku tidak terlalu pusing dengan urusan ganti Menteri ganti Kebijakan ini. 

Sooo, selesai sudah membuat tulisan tentang alasanku memilih HS sebagai cara belajar kami. Semoga bermanfaat buat bacaan anak – anak kelak J

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Free Blooming Red Rose Cursors at www.totallyfreecursors.com