Diambil dari Fans Page FB : Mutiara Air Mata Muslimah
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Sebaik-baik kamu adalah yang
paling baik kepada istrimu.” (HR at-Tirmizi)
Ani, sebut saja begitu, agak tak enak hati menyuguhkan kopi
hangat untuk suami tercintanya pagi itu. Pasalnya, sang suami, Mas Hendra,
nampak cuek. Wajahnya pun masam seperti orang kesal. Sebagai istri, Ani yakin
muara kemuraman itu karena dia. Sudah tiga hari belakangan ini ia menampik
ajakan Mas Hendra untuk berhubungan intim. Pertama, ia merasa lelah. Esok
malamnya merasa tidak mood. Sedang malam ketiga ia tidur lebih awal dari
biasanya.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Ani pun tampil cantik dan
berusaha bergairah di depan Mas Hendra. Namun karena mungkin terlanjur kesal,
sang suami tidak menggubrisnya. Ani pun jadi meradang karena tidak mendapat
tanggapan.
Rasa hati tak karuan itu segera ia bagi pada sahabatnya,
Aisyah, yang sudah lebih lama berumahtangga. Sebagai sahabat, sang teman
menasehatinya untuk segera meminta maaf. Apalagi perbuatan Ani itu termasuk
berdosa.
Alasan yang dikemukakan Aisyah itu tentu saja bersandar pada
sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari, “Jika suami memanggil istrinya untuk
tidur bersama (bersenggama), lalu istri menolak sehingga semalam itu suami
menjadi jengkel (marah) pada istrinya, maka para malaikat mengutuk pada istri
itu hingga pagi hari.”
Sebagai suami dan kepala rumahtangga, tentu Hendra punya
otoritas penuh atas istrinya. Tak salah kalau ia marah. Tapi di satu sisi,
kadang ia lupa bahwa sang istri tentu punya alasan di balik penolakannya, dan
inilah yang kurang dipahami.
Menurut Syeikh Sa’ad Yusuf Abdul Aziz dalam Shahih Washaya
ar-Rasul lin Nisa, seorang istri boleh saja menolak ajakan suaminya berhubungan
badan sepanjanghal itu merupakan uzur syar’i atau sesuatu yang dibolehkan
agama.
Jika perintah sang suami berbau hal-hal maksiat, seperti
menyuruh istri meninggalkan shalat, membuka jilbab, membolehkan teman-teman
suaminya untuk masuk ke dalam rumahnya ketika suami tidak ada, atau
memerintahkannya untuk memutus tali silaturahim, barulah hal itu tidak perlu
didengar atau dipatuhi. Sebab sabda Nabi saw, “Tidak ada ketaatan dalam
kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya pada hal-hal yang
baik saja (ma’ruf).” (HR Bukhari dan Muslim)
Senada dengan itu, pendiri Pusat Kajian Hadits, DR. H. Lutfi
Fathullah MA, mengatakan bahwa ketika suami tidak ‘diberi’ di saat syahwatnya
timbul, maka bisa muncul dua kemungkinan; apakah dia sanggup menahannya,
ataukah dia tidak bisa menahan, alih-alih malah terjerumus ke arah perzinaan.
“Maka pilihannya kalau tidak mau berzina, istri harus memberikan haknya,”
ungkapnya.
Lagi pula, kendati tidak ada asbabul wurud, hadits
permintaan bersenggama dari suami ini sebenarnya bisa saja dita’wilkan sebagai
‘senjata’ untuk menolak permintaan suami. Mengapa?
Di mata Lutfi, sebagaimana fakta umum di masyarakat, tak
dimungkiri bahwa hasrat terbesar suami terhadap istrinya adalah keinginan
menyalurkan nafsu seks.
Maka ketika keinginan tersebut tidak terpenuhi, mereka pun
kecewa dan marah. Sedang kecenderungan hasrat terbesar istri pada suami adalah
ekonomi atau yang lainnya, sementara seks bisa jadi prioritas kesekian. Sebab
itu, tatkala keinginan istri tidak terpenuhi, mereka kerap menggunakan alasan tidak
mau memenuhi kebutuhan seks suaminya.
Hak yang Sama
Pada hakikatnya, hubungan dua insan tidak akan terwujud bila
salah satunya tidak menikmati. Keduanya harus saling terlibat berpartisipasi.
Badriyah Fayumi, dalam Fikih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender mengatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf yang dijalankan suami-istri
adalah harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi,
tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, dan
masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya. Tak terkecuali
dalam masalah hubungan seks.
Maka, sebenarnya jika istri ‘minta’ tapi suami tidak
memberi, juga dihukumi berdosa. Karena seks dalam sebuah pernikahan merupakan
hak kedua belah pihak. Hanya saja, pihak istri jarang sekali ‘meminta’ lebih
dulu. Hal ini disinyalir karena umumnya istri lebih kuat untuk menahan nafsunya
ketimbang suami.
“Suami kalau sudah minta, kadang harus dituruti, bahkan lepas kendali kalau tidak dituruti,” tegas Luthfi yang menamatkan S2 di Jordan University itu.
“Suami kalau sudah minta, kadang harus dituruti, bahkan lepas kendali kalau tidak dituruti,” tegas Luthfi yang menamatkan S2 di Jordan University itu.
Di zaman rasulullah pun pernah terjadi hal serupa. Ketika
seorang sahabat bernama Abdullah bin Amr bin ‘Ash pernah tidak memberikan
nafkah kepada istrinya. Rasulullah menegurnya keras, karena istri pun punya hak
yang sama.
Dalam Al-Fiqhul Islami karangan DR. Wahbah az-Zuhaili, ihwal
hubungan seks itu sendiri dalam pandangan mazhab fiqih Islam berbeda-beda.
Mazhab Maliki mengatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya, selama tidak ada
halangan atau uzur, sebagaimana zahir teks hadits. Namun dari sini timbul
pemahaman, bahwa ketika seorang istri menghendaki hubungan seks, suami pun
wajib memenuhinya.
Sementara mazhab Syafi’i mengatakan bahwa kewajiban suami
menyetubuhi istrinya pada dasarnya hanyalah sekali saja selama mereka masih
menjadi suami-istri. Kewajiban ini hanyalah untuk menjaga moral istrinya.
Pandangan ini dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa melakukan
hubungan seks adalah hak seorang suami. Istri, menurut pendapat ini disamakan
dengan rumah atau tempat tinggal yang disewa. Alasan lain adalah bahwa orang
hanya bisa melakukan hubungan seks apabila ada dorongan syahwat (nafsu), dan
ini tidak bisa dipaksakan. Akan tetapi, sebaiknya suami tidak membiarkan
keinginan seks istrinya itu agar hubungan mereka tidak berantakan.
Adapun mazhab Hanbali menyatakan bahwa suami wajib menggauli
istrinya paling tidak sekali dalam empat bulan, apabila tidak ada uzur. Jika
batas maksimal ini dilanggar oleh suami, maka antara keduanya harus diceraikan.
Mazhab ini mendasarkan pandangannya pada ketentuan ila’ (sumpah untuk tidak
menggauli istri).
Keengganan istri melayani suami tentu saja memiliki alasan.
Sebab itulah seorang suami harus bisa memahami alasan dibalik penolakan
istrinya. Secara umum, istri kerap menolak ‘ajakan’ suami dalam kondisi seperti
berikut:
1. Istri Hamil
Postur tubuh istri yang bertambah besar ditambah adanya si
jabang bayi di dalam perut tentu agak menyulitkan melakukan senggama. Karenanya
dalam kondisi hamil, hasrat seksual istri cenderung menurun. Namun hubungan
intim selama hamil dibenarkan agama.
Dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita
yang dikarang Musa Shalih Syaraf, dibolehkan suami-istri melakukan hubungan
intim, kecuali jika ada pertimbangan kesehatan yang melarang sehingga
menimbulkan beberapa bahaya bagi istri. Yang demikian itu bisa saja dilakukan
dengan meminta saran kepada dokter spesialis kandungan, karena masa-masa
kehamilan itu dituntut mengikuti nasehat-nasehat medis.
2. Istri Capek/Lelah
Mengurus rumahtangga dan anak bukanlah perkara mudah yang
bisa dikerjakan dengan santai. Selain menguras tenaga dan waktu, pikiran pun
harus terfokus penuh pada perkembangan anak. Mulai dari bangun tidur sampai
kembali waktu tidur tiba. Tak heran jika energi istri pun terkuras tak bersisa.
Apalagi istri yang punya peran ganda. Selain sebagai ibu rumahtangga, istri pun
terlibat menopang kehidupan dapur keluarga.
Tak heran ketika ada sedikit kesempatan istirahat, mereka
lebih memilih rehat ketimbang mengurus diri sendiri, bahkan tak jarang
keberadaan suami pun terabaikan.
Maka sebagai suami bijak, sudah sepatutnya tak terburu-buru menanggapi sikap istri dengan amarah. Justru memahami kesulitan sang istri bisa menjadi jalan terbukanya komunikasi yang baik. Pada akhirnya bahkan hubungan di atas ranjang pun tak mudah terganjal.
Maka sebagai suami bijak, sudah sepatutnya tak terburu-buru menanggapi sikap istri dengan amarah. Justru memahami kesulitan sang istri bisa menjadi jalan terbukanya komunikasi yang baik. Pada akhirnya bahkan hubungan di atas ranjang pun tak mudah terganjal.
3.Istri Sakit
Dalam masalah ibadah apa pun, sakit adalah uzur yang sangat
bisa dimaklumi. Kondisi badan yang tidak fit memang tidak memungkinkan
seseorang beraktivitas. Apalagi jika sakit itu sudah amat membahayakan. Sudah
sepatutnya suami memahami kondisi ini.
4. Istri Haid
Bersenggama dalam kondisi istri sedang haid adalah haram,
sebagaimana al-Qur’an menyatakan, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (QS. al-Baqarah: 222)
Alasan di balik pengharaman ini dikarenakan darah haid itu
memiliki bau yang tidak sedap dan dapat mendatangkan beberapa penyakit yang
berbahaya bagi suami dan istri. Namun, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, jika
ada orang yang akhirnya melakukan senggama pada waktu haid, disunnahkan baginya
bersedekah setengah atau satu dinar.
Sejatinya hubungan seks bukanlah sekedar penyaluran syahwat.
Hubungan seks antar suami-istri juga merupakan ungkapan cinta kasih agar
pondasi rumahtangga semakin kokoh.
Mengungkapkan rasa cinta tentu saja tidak bisa dengan bahasa
kasar dan memaksa. Sebab itulah hadits terkait menggunakan lafaz da’aa
(meminta, mengajak). Hal ini, bagi Lutfi, sekaligus menyanggah anggapan
kalangan yang menyatakan bahwa perkosaan dalam rumahtangga itu ada. Adapun
lafaz rajul (laki-laki, suami) sebagai subyek, tak lain merupakan ungkapan
kebiasaan.
“Dalam banyak firman-Nya, Allah menggunakan lafaz sesuai
kebiasaan, misalnya was sariqu was sariqatu, laki-laki dan perempuan pencuri,
lelaki disebut lebih dulu karena yang biasa mencuri laki-laki, baru kemudian
disusul dengan perempuan, namun di tempat lain kadang perempuan dulu yang
disebutkan,” jelas ustadz yang mengenyam studi S3 di Universitas Kebangsaan
Malaysia.
Jika hubungan seks telah sama-sama dipahami sebagai
kebutuhan bersama, akan sangat mudah mengkomunikasikan segala kendala yang
datang. Maka saat uzur syar’i seperti haid jadi kendala, tentu saja keduanya
tetap bisa melakukan hubungan intim selama tidak memasuki wilayah yang dilarang
(antara pusar-lutut).
Bahkan ketika salah satu pasangan tidak mood, bisa saja
gairah dibangkitkan selama keduanya sama-sama mau terbuka membicarakannya.
Perbincangan ringan bukan tidak mungkin melahirkan candaan-candaan mesra, yang
pada akhirnya bisa membangkitkan gairah untuk bercinta.
0 comments:
Post a Comment